Metode Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunarungu
KLASIFIKASI DAN JENIS KETUNARUNGUAN
SERTA METODE PENGAJARAN BAHASA
BAGI ANAK TUNARUNGU
Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga
jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya:
1.
Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila
terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat
dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
2.
Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi
bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang
mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak. (Ketunarunguan Andi
tampaknya termasuk ke dalam kategori ini.
3.
Central auditory processing disorder, yaitu
gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.
gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam
mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke
dalam empat kategori, yaitu:
1.
Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu
kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB
(desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami
sedikit kesulitan dalam percakapan.
2.
Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment),
yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65
dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah
pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat
terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
3.
Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu
kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB.
Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara
dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin
dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
4.
Ketunarunguan berat sekali (profound hearing
impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan
intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin
baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh
tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan
kekuatan yang sangat tinggi (superpower).
Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah
satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon,
Graham Bel, yang istrinya tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan
dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel.
Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan
bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi
udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan
gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi
dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga
manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda,
yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam
audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah
tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang
rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz (Ashman &
Elkins, 1994).
Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak
Tunarungu
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak
Tunarungu
Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar
bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi
manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.
1) Belajar Bahasa
Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan
“membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50%
bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50%
lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian
belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada
bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang
dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya
terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik
bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat
membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi,
orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang
lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang
non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang
tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins,
1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan
kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang
menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami
bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi
lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett,
Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan
sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak
puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah.
Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan
perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk
keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech
telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem
isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat
dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem)
maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan
cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya
yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
2) Belajar Bahasa
Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu
tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat
bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis
ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear
implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari
dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang
dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui
pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga
bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara
elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan
pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf
pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer
terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang
dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh
gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu
terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat
sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat
bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu
tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal.
Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh
manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping
itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang
dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat
kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3) Belajar Bahasa secara
Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung
mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan
universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang
dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa
komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap
tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan
baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya
cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa
bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak
tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat
keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa
kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan
auditori-oral.
Pendekatan Auditori verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak
tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi
warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif.
Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak
penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di
dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal
didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak
belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori
verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus
dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan
prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu
(Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah
sebagai berikut:
- Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
- Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
- Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
- Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
- Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
- Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
- Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
- Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
- Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
- Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program
auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993,
dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke
dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan dari mereka
bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan
pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat
dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya
setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson
& Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).
Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis
mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif
maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu.
Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana
bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup
lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat
penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
- Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
- Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
- Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
- Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih
dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang
mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk
sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan
mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi,
identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan
mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi
ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam
kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang
saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap
suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan
keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa
dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada
diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi
anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah
pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus
bagi tunarungu di sekolah reguler.
Komentar
Posting Komentar