Terapi Eksistensial Bagi Tunarungu
Terapi eksistensial Untuk tunarungu
Tuna rungu dapat
diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan
seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan terutama melalui indera
pendengaran.Maka dapat disimpulkan bahwa siswa tunarungu adalah siswa yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh
kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran,
sehingga mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, serta memerlukan
bimbingan dan pendidikan yang khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin.
Dengan demikian perolehan bahasanya terhalang diakibatkan tidak mendengar.
Upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasinya maka pendidik dituntut
agar dapat mengetahui dan memahami
karakteristik dan membaca situasinya. Penyandang Tunarungu disebut sebagai “Insan Pemata” karena akibat tidak mendengar maka ia kehilangan kemampuan untuk meniru bahasa ucapan orang lain atau apa yang ia dengar. Dengan demikian perolehan bahasanya terhalang diakibatkan tidak mendengar, sehingga lebih mudah curiga terhadap keberadaan orang lain. Intervensi secara dini sangat membantu sekali sehingga kelainan anak tidak dibiarkan berlarut-larut tanpa adanya suatu usaha untuk mengatasi ke-arah pengoptimalan kemandiriannya dikemudian hari. Sehingga mereka tidak hanya tergantung pada belas kasihan orang lain, dan mampu hidup layak seperti manusia lainnya. Konsep eksistensial khususnya untuk menjelaskan pemahaman yang menempatkan posisi yang sedang dihadapi untuk memfasilitasi anak tunarungu sehingga mendapatkan keyakinan akan eksistensinya yang sesuai dengan keterbatasannya dalam segi pendegaran. Pendekatan Eksistensial berkembang sebagai reaksi atas dua model terapi behaviorisme. Konseling eksistensial manusia yang bercorak serba ditentukan (deterministic), serba dikurangi (reductionistic), dan serba mekanis (mechanistic). Di samping itu, konseling eksistensial didasarkan pada model pertumbuhan dan mengkonsepkan kesehatan dan bukan keadaan sakit atau penyakit. Klien tidak dipandang sebagai seorang yang sakit, melainkan sebagai orang yang bosan hidup atau merasa enggan menjalani kehidupan. Di samping itu, klien juga berperan dalam mengambil keputusan untuk masuk dalam kegiatan konseling. Pokoknya klien dalam terapi eksistensial bertugas untuk membuka pintu bagi dirinya sendiri setelah itu klien bertugas berkonfrontasi dengan kepedulian jauh di depan dan bukan mengurusi problema-problema yang akan segera datang (Corey, 1997) Klien harus aktif dalam kegiatan proses konseling, oleh karena selama sesi konseling mereka harus menentukan jenis rasa takut, rasa bersalah, dan kecemasan yang akan mereka eksplorasi. Di samping itu, klien juga berperan dalam mengambil keputusan untuk masuk dalam kegiatan konseling.
karakteristik dan membaca situasinya. Penyandang Tunarungu disebut sebagai “Insan Pemata” karena akibat tidak mendengar maka ia kehilangan kemampuan untuk meniru bahasa ucapan orang lain atau apa yang ia dengar. Dengan demikian perolehan bahasanya terhalang diakibatkan tidak mendengar, sehingga lebih mudah curiga terhadap keberadaan orang lain. Intervensi secara dini sangat membantu sekali sehingga kelainan anak tidak dibiarkan berlarut-larut tanpa adanya suatu usaha untuk mengatasi ke-arah pengoptimalan kemandiriannya dikemudian hari. Sehingga mereka tidak hanya tergantung pada belas kasihan orang lain, dan mampu hidup layak seperti manusia lainnya. Konsep eksistensial khususnya untuk menjelaskan pemahaman yang menempatkan posisi yang sedang dihadapi untuk memfasilitasi anak tunarungu sehingga mendapatkan keyakinan akan eksistensinya yang sesuai dengan keterbatasannya dalam segi pendegaran. Pendekatan Eksistensial berkembang sebagai reaksi atas dua model terapi behaviorisme. Konseling eksistensial manusia yang bercorak serba ditentukan (deterministic), serba dikurangi (reductionistic), dan serba mekanis (mechanistic). Di samping itu, konseling eksistensial didasarkan pada model pertumbuhan dan mengkonsepkan kesehatan dan bukan keadaan sakit atau penyakit. Klien tidak dipandang sebagai seorang yang sakit, melainkan sebagai orang yang bosan hidup atau merasa enggan menjalani kehidupan. Di samping itu, klien juga berperan dalam mengambil keputusan untuk masuk dalam kegiatan konseling. Pokoknya klien dalam terapi eksistensial bertugas untuk membuka pintu bagi dirinya sendiri setelah itu klien bertugas berkonfrontasi dengan kepedulian jauh di depan dan bukan mengurusi problema-problema yang akan segera datang (Corey, 1997) Klien harus aktif dalam kegiatan proses konseling, oleh karena selama sesi konseling mereka harus menentukan jenis rasa takut, rasa bersalah, dan kecemasan yang akan mereka eksplorasi. Di samping itu, klien juga berperan dalam mengambil keputusan untuk masuk dalam kegiatan konseling.
Sumber:
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2137014-pengertian-tuna-rungu/
Corey, Gerald. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (terj.) (Bandung:
Eresco,1988).
Komentar
Posting Komentar